Oleh: Ustadz. Rokhmat S. Labib
Adanya perbedaan pendapat, madzhab, dan organisasi dalam kehidupan umat Islam merupakan realitas yang tak dapat dapat dipungkiri.
Bagaimana kita menyikapi berbagai perbedaan tersebut?
Ada pedoman penting yang diterangkan oleh al-Imam al-Syafi'i rahimahullah dalam kitabnya yang sangat terkenal, al-Risalah. Ini adalah kitab pertama yang membahasa ushul fiqh secara sistematis. Meskipun, pembahasan tentang ushul fiqh oleh beliau tidak hanya dalam kitab tersebut. Maka, tak aneh jika al-Imam al-Syafi'i disebut sebagai peletak dasar ilmu Ushul Fiqh.
Dalam kitab tersebut, bab al-Ikhtilaf, beliau memberikan jawaban atas pertanyaan tebtang adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu, dulu mapun sekarang.
Beliau pun menjelaskan bahwa ikhtilafh atau perbedaan ada dua macam. Yakni, al-ikhtilaf al-muharram (perbedaan pendapat yang diharamkan) dan yang tidak.
Dalam hal apa diharamkan? Dalam semua hal yang dibangun dengan hujjah dari Allah yang terdapat dalam Kitab-Nya dan lisan Nabi-Nya, yang disebutkan secara jelas.
Dasarnya adalah firman Allah Swt:
وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ
Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata (QS al-Bayyinah [96]: 4).
Juga firman-Nya:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat (QS Ali Imran [3]: 105).
Kedua ayat ini memberikan celaan terhadap perselisihan dan perbedaan pendapat dalam perkara yang didasarkan pada al-bayyinat (keterangan yang jelas atau bukti yang nyata).
Dalam istilah lain, perkara yang tidak diperbolehkan adanya perbedaan adalah perkara yang qath'i. Yakni, perkara yang didasarkan pada dalil-dalil yang qath'i (pasti), baik tsubut (sumber, yakni al-Quran dan Hadits mutawatir) maupun dalalah (penunjukannya).
Sebagai contoh, halalnya perdagangan dan haramnya riba. Hukum tersebut merupakan perkara qath'i. Sebab, disebutkan dalam a-Quran (berarti qath'iy al-tsubut), yakni firman Allah Swt:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).
Ayat tersebut pun tidak memiliki makna lain kecuali: jual-beli itu halal dan riba itu haram. Sehingga, penunjukannya pun pasti atau qath'iyy al-dalalah.
Dalam perkara ini tidak diperbolehkan ada perbedaan.
Sedangkan dalam perkara lainnya, yakni dalam perkara yang diminta adanya ijtihad, diperbolehkan berbeda.
Patut dicatat, bahwa yang menjadi wilayah ijtihad adalah perkara zhanni. Perkara yang didasarkan pada dalil zhanni, baik tsubut maupun dalalah-nya.
Dalil yang zahnniy al-tusbut adalah semua Hadits yang tidak mutawatir sehingga memmbuka peluang terjadinya perbedaab di kalangan para ulama hadits tentang statusnya.
Sedangkan dari dalalah-nya, dalil itu membuka peluang terjadinya penafsiran lebh dari satu. Contohnya adalah firman Allah Swt:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (QS al-Baqarah [2]: 228).
Kata quru dalam ayat ini memiliki makna musytarak, yakni haidh dan suci. Para ulama, bahkan para sahabat pun berbeda tentang makna tersebut.
Dalam perkara yang kedua ini, tidak boleh saling memutlakkan bahwa pendapatnya satu-satunya benar dan yang lain pasti salah.
Terdapat perkataan al-Imam al-Syafi;i yang terkenal tentang hal ini. Beliau berkata:
Dengan opini beliau yang terkenal adalah :
رأيي صواب يحتمل الخطأ، ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
“Pendapatku benar bisa jadi salah. Dan pendapat orang lain salah, bisa jadi benar”.، ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
“Pendapatku benar bisa jadi salah. Dan pendapat orang lain salah, bisa jadi benar”.
Berdasarkan pedoman itu, kita akan dengan mengetahui: Apa yang harus sama, dan apa yang boleh berbeda.
Berdasarkan pedoman ini, maka kita tidak boleh menyesatkan orang lain hanya karena berbeda pendapat dalam perkara zhanniyat, yang pendapat itu dihasilkan oleh mujtahid. Apalagi hanya sekedar berbeda organisasi.
Simak penjelasan tersebut dalam video ini:

0 Response to "MENYIKAPI PERBEDAAN DIKALANAGN UMAT ISLAM"
Post a Comment